Pagi itu terasa asing. Udara yang biasanya menggelitik kulitku dengan
hangat kini terasa lebih dingin, seolah semesta ingin memberitahuku bahwa ada
yang tidak beres. Ketika aku membuka mata, seorang wanita paruh baya
membangunkanku dengan suara lembut tapi asing di telingaku. Aku mengerjapkan
mata, melihat sekeliling, dan mendapati diriku berada di sebuah kamar remaja
dengan poster-poster game dan anime di dinding. Aku berlari ke cermin dan
terkejut bukan kepalang. Refleksi di hadapanku bukanlah diriku yang biasa—aku
berada dalam tubuh seorang anak muda. Namanya Mustafa, seorang siswa SMK di
tahun 2025.
Aku mencoba mencubit pipiku. Nyata. Bukan mimpi. Aku benar-benar telah
terperangkap dalam tubuh seorang siswa zaman sekarang. Dalam kebingungan, aku
pun berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan Mustafa. Namun, yang kutemukan
justru lebih mencengangkan: dunia pendidikan telah berubah drastis.
Hari pertama di sekolah baruku, aku merasa seperti dinosaurus yang
terdampar di era futuristik. Pelajaran tidak lagi diisi oleh diskusi mendalam
atau pemahaman konseptual. Sebaliknya, tugas-tugas dikerjakan dalam hitungan
detik berkat kehadiran kecerdasan buatan yang dengan senang hati menyuapi siswa
dengan jawaban instan. "Mengapa harus berpikir keras jika AI bisa melakukan
segalanya?" Begitulah kira-kira filosofi yang tertanam di kepala banyak
murid.
AI seperti dewa modern, menawarkan kemudahan tanpa batas. Chatbot
canggih menggantikan bimbingan guru, algoritma pintar merangkum buku tebal
menjadi poin-poin dangkal, dan aplikasi pembuat esai mampu menghasilkan tulisan
yang lebih baik daripada yang bisa dihasilkan manusia dalam semalam. Namun,
satu hal yang menggangguku: para siswa tidak benar-benar memahami apa yang
mereka kerjakan.
Tugas selesai, nilai sempurna, tetapi otak kosong. Mereka seperti robot
yang mengandalkan mesin tanpa perlu berpikir. Aku ingin berteriak, ingin
menegaskan bahwa pendidikan bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi tentang
pemahaman yang mendalam. Sayangnya, suaraku tenggelam di lautan kenyamanan
teknologi.
Di sela-sela perjalananku sebagai Mustafa, aku mencoba mencari cara
untuk memahami lebih dalam bagaimana pendidikan bekerja di era ini. Aku membaca
berita dan laporan terbaru dari berbagai sumber. Seorang pakar pendidikan dari
Harvard, Tony Wagner, pernah berkata, "The world doesn’t care what you
know; the world cares what you can do with what you know." Namun,
kenyataannya, siswa masa kini lebih peduli pada hasil akhir dibandingkan
prosesnya.
Aku pun semakin sadar bahwa kecerdasan buatan telah menjadi pisau
bermata dua. Di satu sisi, ia memberikan akses tanpa batas ke ilmu pengetahuan.
Di sisi lain, ia menciptakan generasi yang malas berpikir. Sebuah survei
terbaru dari World Economic Forum bahkan menyebutkan bahwa 68% siswa lebih mengandalkan
AI daripada belajar secara mandiri. Apakah ini pertanda kiamat bagi pendidikan?
Dalam kekalutan itu, aku bertemu dengan seorang nenek tua di taman
sekolah. Ia menatapku dalam-dalam, seolah melihat jiwaku yang terperangkap.
Dengan suara penuh kebijaksanaan, ia berkata, "Saatnya kau kembali."
Begitu aku terbangun keesokan paginya, aku kembali ke tubuh asliku, seolah
tidak pernah terjadi apa-apa.
Namun, ada yang berbeda dalam diriku. Aku kini membawa pemahaman baru:
pendidikan bukan hanya tentang memberikan ilmu, tetapi tentang membangkitkan
kesadaran dan keinginan untuk belajar. Aku menyadari bahwa setiap anak memiliki
bakat yang berbeda, dan tugas seorang guru bukan hanya mengajar, tetapi juga
membimbing mereka menemukan passion mereka sendiri.
Sebagai guru, aku kini lebih bersemangat. Aku tak ingin menjadi sekadar
penyampai materi yang bisa digantikan oleh algoritma. Aku ingin menjadi
inspirasi, seseorang yang mampu menyalakan semangat belajar di hati para siswa.
Aku percaya, meskipun dunia semakin maju, masih ada ruang bagi manusia untuk
berpikir, bertanya, dan berkembang dengan caranya sendiri.
Karena pada akhirnya, teknologi seharusnya menjadi alat, bukan penjara. Kita bisa memilih untuk menggunakan AI sebagai pendukung, bukan pengganti. Seperti yang dikatakan Albert Einstein, "Education is not the learning of facts, but the training of the mind to think." Dan itu, adalah tugas kita sebagai pendidik: memastikan bahwa generasi mendatang tetap bisa berpikir, bukan sekadar mengandalkan mesin.
No comments: